Mengenal Diri Lebih Jauh Lagi

Sekitar seminggu yang lalu, aku berkesempatan menjadi relawan di event yang mengusung tema mental health and leadership. Acara ini mengajak adik-adik yatim-dhuafa dari rumah belajar serta pondok pesantren pilihan untuk lebih memahami dirinya sendiri dan menumbuhkan hasrat kepemimpinan, setidaknya terhadap diri sendiri. Pada awalnya, aku ragu untuk berpartisipasi karena sebenarnya I'm not into any kind of camp events, kecuali dengan orang-orang terdekat dan bukan event besar, hanya saja entah kenapa kali ini I let myself join as a volunteer. 

Tapi, setelah aku mengikuti seluruh rangkaian acaranya, aku jadi paham kenapa aku ditakdirkan untuk jadi bagian dari event ini. Ternyata bukan cuma adik-adik yang menerima manfaat dari acaranya, aku pun ikut merasakannya. Aku seperti menemukan sisi diriku yang mungkin selama ini gak pernah aku jangkau. Selain itu, ini beberapa hal yang aku dapatkan dan aku pelajari selama acara.

1. Mengenali emosi

Pada sesi "mengenal emosi", adik-adik diminta menggambarkan emosi atau perasaan yang sedang mereka rasakan. Namun, ternyata gak semua anak bisa mengenali emosinya. Bahkan saat ditanya apa yang sedang dirasakan, beberapa dari mereka hanya menjawab "Gak tahu." sambil senyum malu-malu. Padahal mereka sudah ada di usia remaja yang ku rasa sudah sewajarnya mengenali dasar-dasar emosi yang sedang dirasakan, seperti senang, sedih, kesal, marah, dll. Tentunya latar belakang kehidupan serta pola asuh orang tua jadi faktor paling utama seseorang jadi sulit mengenali emosinya sendiri. 

Ada salah satu adik yang bercerita kepadaku kalau ia sering medapat perkataan yang gak baik dari beberapa temannya di sekolah, lalu aku tanya "Ketika mereka seperti itu, kamu kesal, gak?" dia jawab "Enggak." lagi-lagi sambil senyum malu. Kemudian, aku tanya mengenai teman bicaranyaa di rumah, tapi dia bilang gak ada. 

"Kalau sama ibu, gak pernah ngobrol?" ku tanya lagi.

"Pernah, tapi gak sering." katanya.

"Kalau ngobrol sama ibu, biasanya kapan?"

"Kalau aku mimpi ketemu ayah." katanya sambil senyum lagi, tapi kali ini aku lihat dengan jelas matanya berkaca-kaca. Kemudian dia mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal. Melihat reaksinya yang hanya menjawab pertanyaanku tanpa ada keinginan untuk bercerita, aku gak mau nanya lebih jauh lagi karena khawatir dia gak nyaman.

Dari sini aku jadi tahu, bahwa gak semua orang bisa mengenali emosinya. Aku pun jadi mempertanyakan diri sendiri "Apakah aku sudah benar-benar mengenali emosiku, atau aku masih denial dengan yang ku rasakan hanya agar aku gak merasa terbebani dengan perasaanku sendiri?"

2. Sepenuhnya hadir untuk diri sendiri

The hypnotherapy session hit me so hard. Ini sesi puncak yang menurutku membekas di hati dan pikiran semua orang yang ada di lokasi acara. Di sesi yang satu ini, rasanya bukan cuma adik-adiknya saja yang perlu dibimbing, tapi aku juga. Pada sesi ini, kita diminta menuliskan surat untuk orang yang pernah meninggalkan luka mendalam di kehidupan masing-masing, Kita boleh meluapkan semua hal yang mungkin gak bisa disampaikan secara langsung. Mereka yang terbiasa memendam emosinya, ternyata agak kesulitan menuangkan perasaannya walaupun dalam bentuk tulisan, padahal gak ada orang yang akan membacanya juga. Sedangkan bagiku, mungkin karena aku terbiasa menuangkan emosi melalui tulisan, rasanya satu lembar HVS bolak-balik juga masih belum cukup. Tapi, aku sadar kok, tulisanku yang banyak itu merupakan salah satu tanda bahwa masih banyak hal yang perlu aku selesaikan dengan diriku sendiri.

Usai menulis, kita diminta melipat kertas sekecil mungkin dan menggenggamnya erat-erat sebagai visualisasi bahwa hal-hal yang selama ini memberatkan dan menghalangi kebahagiaan di hidup kita itu sebenarnya kecil banget, bahkan bisa digenggam oleh sebelah tangan. 

Selanjutnya, kita diminta sepenuhnya fokus untuk berbicara dengan diri sendiri sambil membayangkan wujud diri masing-masing dalam hati dan pikiran. Aku yakin, pada sesi ini tiap orang melihat dirinya dengan wujud yang beragam. Aku sendiri melihat diriku terduduk dengan raut menyedihkan, serta tubuh yang penuh luka (ahhh... membayangkannya sambil mengetik ini bikin mataku berkaca-kaca). Rasanya kayak... "Heyyy, selama ini kamu kok yakin banget bilang I love myself, tapi luka sebanhyak ini kamu biarkan begitu saja?" 

Dari sini aku sadar, kalau selama ini aku mungkin gak sepenuhnya hadir untuk diri sendiri. Aku sibuk mengejar sesuatu yang jauh tanpa menyadari kalau ada hal dalam diri sendiri yang seharusnya lebih dulu sembuh.

3. Memaklumi 

Mengikuti rangkaian acara ini bikin aku mengerti kalau sebenarnya perilaku negatif seseorang itu terjadi karena ada latar belakangnya. Jadi, sekarang kalau ada orang yang bikin gak enak hati, alih-alih langsung membenci, aku justru jadi menganalisis kemungkinan-kemungkinan buruk yang sedang terjadi dalam hidupnya hingga ia melakukan hal tersebut. Tapi ini bukan membenarkan orang lain memperlakukan diriku dengan gak baik lho, yaaa! Hanya saja, setidaknya aku gak perlu buang-buang energi untuk menanggapinya secara berlebihan. 

Dari kegiatan ini pula aku paham bahwa proses penyembuhan luka memang gak nyaman. Tapi, semakin kita mengabaikan luka yang ada, akan semakin berat pula hari-hari yang dilalui ke depannya. 

Gak harus sembuh sekarang juga, kok! Kita hanya perlu menyadari terlebih dahulu bahwa kita lagi gak baik-baik saja, kemudian terima lukanya, dan nikmati rasa sakitnya. Hingga pada akhirnya, kita akan merasakan bahwa energi yang dimiliki sudah jauh lebih baik dan gak ada lagi ruang untuk menyimpan luka itu di dalam diri. 

Jangan lupa minta bantuan Yang Maha Kuasa agar prosesnya dipermudah. Selain itu, gak ada salahnya minta bantuan tenaga ahli jika memang dirasa kesulitan mengarahkan serta mengendalikan diri sendiri. 

Comments